Pada
kesempatan lain, Al-Mubarak melewati sebuah daerah yang penduduknya
sudah mengenal kesalehannya. Mendengar kabar kedatangan Al-Mubarak itu
warga berduyun-duyun menyambutnya. Seorang anak muda mengabarkan hal itu
kepada seorang buta, “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau
butuhkan.”
Si buta pun menunggu di depan rumahnya. “Beri tahu aku
kalau Al-Mubarak sudah melintas di depan rumah,” katanya kepada si
pemuda. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah seseorang, “Dialah
Al-Mubarak, bisik si pemuda kepada si buta.
“Wahai
Al-Mubarak, berhentilah sejenak!” seru si buta. “Bisakah engkau
menolongku? Berdoalah kepada Allah SWT untuk mengembalikan penglihatanku
ini,” pintanya. Sejenak Al-Mubarak menundukkan kepala lalu berdoa.
Beberapa saat kemudian, si buta bisa melihat kembali. “Demi Allah, aku
tidak akan melupakan jasamu,” kata si buta terkaget-kaget dan tak
henti-hentinya bersyukur.
Ketika bermukim di Mekah,
Al-Mubarak pernah gelisah. Usai menyempurnakan ibadah haji ia kelelahan
hingga tertidur lelap. Ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari
langit dan berbincang-bincang.
“Berapa orangkah yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” tanya salah satu malaikat itu.
“Enam ratus ribu orang,” jawab yang satu.
“Dari sekian banyak orang, berapa yang hajinya diterima Allah (haji mabrur)?”
“Tidak seorang pun!” jawab yang lain.
Mendengar perbincangan itu, Al-Mubarak gemetar.
“Bukankah
mereka telah datang dari seluruh pelosok negeri yang jauh, rela
melewati lembah curam dengan susah payah, bahkan ada yang melintasi
padang pasir yang panas. Tapi semua itu sia-sia?” lanjut malaikat yang
satu.
“Ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali
bin Al-Muwaffiq. Ia tidak datang ke Baitullah, tapi ibadah hajinya
diterima dan segala dosanya dihapuskan oleh Allah SWT,” sahut malaikat
satunya. Mendengar penjelasan itu, Al-Mubarak kaget dan terjaga dari
tidurnya. “Aku harus ke Damaskus menemui Ali bin Muwaffiq,” katanya
dalam hati.
Keesokan harinya ia berangkat ke Damaskus.
Sampai di sana ia bertanya kepada setiap orang tentang keberadaan Ali
bin Al-Muwaffiq. Salah seorang penduduk menunjuk seorang tukang sepatu.
Dialah Ali Al-Muwaffiq. Maka Al-Mubarak mengisahkan perihal mimpinya.
Lalu ia pun mendesak agar Ali Muwaffiq menceritakan apa yang telah ia
kerjakan sehingga ibadah hajinya diterima oleh Allah padahal tidak
berangkat ke tanah suci.
Maka berceritalah Ali Muwaffiq.
“Telah
30 tahun lamanya aku bercita-cita menunaikan ibadah haji. Dari membuat
sepatu aku berhasil menabung uang 350 dirham, aku bertekad akan ke Mekah
pada tahun ini juga, kebetulan ketika itu istriku sedang mengidam dan
mencium bau makanan dari rumah sebelah, ia mendesak agar aku minta
makanan itu sedikit. Akupun pergi ke rumah sebelah untuk minta sedikit
makanan yang baunya sedap itu.”
Tapi tetangga itu
menangis. “Tiga hari lamanya anak-anakku tidak makan. Dan siang tadi aku
melihat ada seekor keledai tergeletak mati, maka aku pun menyayat
dagingnya sekerat, lalu memasaknya,” tuturnya lirih. Ali Muwaffiq sedih
mendengar cerita itu. “Makanan ini tidak halal, tunggulah sebentar!”
ujar Ali. Lalu ia mengambil tabungannya sebanyak 350 dirham itu dan
menyerahkan semuanya kepada sang tetangga. “Gunakanlah uang ini untuk
anak-anakmu,” pesannya.
Al-Mubarak terkesima. “Malaikat
itu telah berbicara dengan sebenar-benarnya di dalam mimpiku. Dan
penguasa kerajaan surga benar-benar adil dalam pertimbangan-Nya,”
katanya sambil bertasbih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar