Kedatangan Jamaah Haji dari Yatsrib
Permusuhan
Quraisy terhadap Rasulullah dan kaum Muslimin semakin keras. Rasanya
tak ada lagi harapan bagi Rasulullah untuk mendapat dukungan
kabilah-kabilah sesudah mereka menolaknya dengan cara yang tidak baik.
Rasulullah merasa bahwa tiada seorang pun dari Quraisy yang dapat
diharapkan diajak kepada kebenaran.
Meskipun
beliau merasa berbesar hati karena adanya Hamzah dan Umar, dan meskipun
yakin, bahwa Quraisy tidak akan terlalu membahayakan mengingat adanya
pertahanan pihak keluarganya dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib,
tapi beliau melihat bahwa risalah Allah itu akan terhenti hanya pada
suatu lingkaran pengikutnya saja. Mereka yang terdiri dari orang-orang
yang masih lemah dan sedikit sekali jumlahnya, hampir-hampir saja punah
atau tergoda meninggalkan agamanya kalau tidak segera datang kemenangan
dan pertolongan Allah. Hal ini berjalan cukup lama.
Apabila
musim ziarah tiba, orang-orang dari segenap jazirah Arab berkumpul lagi
di Makkah, Rasululah mulai menemui kabilah-kabilah itu. Diajaknya
mereka memahami kebenaran agama yang dibawanya. Tidak peduli apakah
kabilah-kabilah tidak mau menerima ajakannya atau akan mengusirnya
secara kasar.
Tiba giliran tahun berikutnya, bulan-bulan suci pun
datang bersama datangnya musim ziarah ke Makkah, dan ke tempat itu
datang pula duabelas orang penduduk Yatsrib. Mereka bertemu dengan
Rasulullah di Aqabah. Di tempat inilah mereka menyatakan baiat atau
ikrar kepada Rasulullah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Baiat
Aqabah Pertama. Mereka berikrar kepada Rasulullah untuk tidak
menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh
anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan atau di
belakang. Dan tidak menolak berbuat kebaikan.
Rasulullah kemudian
menugaskan Mush'ab bin Umair supaya membacakan Al-Qur'an kepada mereka,
mengajarkan Islam serta seluk-beluk hukum agama. Setelah adanya baiat
ini Islam makin tersebar di Yatsrib. Mush'ab bertugas memberikan
pelajaran agama di kalangan Muslimin Aus dan Khazraj.
Pada 622 M,
jamaah haji dari Yatsrib jumlahnya banyak sekali, terdiri dari 75
orang, 73 pria dan dua wanita. Mengetahui kedatangan mereka ini,
Rasulullah berniat akan mengadakan baiat lagi, tidak terbatas hanya pada
seruan kepada Islam seperti selama ini, melainkan lebih jauh dari itu.
Baiat ini hendaknya menjadi suatu pakta persekutuan. Dengan demikian
kaum Muslimin dapat mempertahankan diri; pukulan dibalas dengan pukulan,
serangan dengan serangan. Rasulullah lalu mengadakan pertemuan rahasia
dengan pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah ada kesediaan mereka,
dijanjikannya pertemuan itu akan diadakan di Aqabah pada tengah malam.
Peristiwa ini oleh kaum Muslimin Yatsrib tetap dirahasiakan dari kaum
musyrik yang datang bersama-sama mereka. Sesampai di gunung Aqabah,
mereka semua mendaki lereng-lereng gunung tersebut, kemudian menunggu
kedatangan Rasulullah.
Rasulullah pun datang bersama pamannya,
Abbas bin Abdul Muthalib, yang pada waktu itu belum memeluk Islam.
Setelah masing-masing pihak menyatakan kesediaan berbaiat, mereka
kemudian mengulurkan tangan dan menyatakan baiat kepada Rasulullah.
Selesai baiat, Rasulullah berkata kepada mereka, "Pilihlah dua belas
orang pemimpin dari kalangan tuan-tuan yang akan menjadi penanggung
jawab masyarakatnya!"
Mereka lalu memilih sembilan orang dari
Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kemudian kepada pemimpin-pemimpin itu
Nabi berkata, "Tuan-tuan adalah penanggung jawab masyarakat tuan-tuan
seperti pertanggung jawaban pengikut-pengikut Isa bin Maryam. Terhadap
masyarakat saya, sayalah yang bertanggungjawab."
Dalam ikrar kedua
ini mereka berkata, "Kami berikrar, mendengar dan setia di waktu suka
dan duka, di waktu bahagia dan sengsara. Kami hanya akan berkata yang
benar di mana saja kami berada. Dan kami tidak takut kritik siapa pun
atas jalan Allah ini."
Peristiwa ini selesai pada tengah
malam di celah gunung Aqabah, jauh dari masyarakat ramai, atas
dasar kepercayaan bahwa hanya Allah yang mengetahui keadaan mereka.
Dengan
adanya Baiat Aqabah ini, pintu harapan akan menang jadi terbuka di
depan Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Setidak-tidaknya harapan
kebebasan menyebarkan agama, serta menyerang berhala-berhala dan
penyembah-penyembahnya. Rasulullah meminta para sahabatnya supaya
menyusul kaum Anshar ke Yatsrib. Hanya saja, ketika meninggalkan Makkah
hendaknya mereka
berpencar agar tidak menimbulkan kepanikan.
Mulailah
kaum Muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau
kelompok-kelompok kecil. Akan tetapi hal itu rupanya sudah diketahui
oleh pihak Quraisy. Mereka segera bertindak, berusaha mengembalikan kaum
Muslimin ke Makkah untuk kemudian dibujuk supaya kembali kepada
kepercayaan mereka. Kalau mereka menolak, akan disiksa dan dianiaya.
Berturut-turut
kaum Muslimin hijrah ke Yatsrib, sedang Rasulullah tetap berada di
tempatnya. Tak ada yang tahu, apakah beliau akan tetap tinggal di
tempatnya atau akan hijrah juga. Apabila Rasulullah masih tinggal di
Makkah dan berusaha meninggalkan tempat itu, maka pihak Quraisy masih
merasa terancam oleh adanya tindakan pihak Yatsrib dalam membela
Rasulullah.
Jadi tak ada jalan keluar bagi Quraisy selain
membunuhya. Dengan begitu mereka lepas dari malapetaka yang
terus-menerus itu. Tetapi kalau mereka membunuhnya, tentu keluarga
Hasyim dan keluarga Muthalib akan menuntut balas. Maka pecahlah perang
saudara di Makkah, dan suatu bencana yang sangat mereka takuti juga akan
datang dari pihak Yatsrib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar