Pelajaran terpenting yang dapat diambil dari kisah Nabi Nuh AS adalah
bahwa dakwah setiap nabi dan rasul adalah satu, yaitu menyeru umat
untuk beribadah kepada Allah SWT saja (dakwah tauhid).
Nabi
Nuh AS tinggal di tengah-tengah kaumnya selama kira-kira 950 tahun dan
masih hidup sepeninggal mereka selama waktu yang dikehendaki Allah SWT.
Beliau termasuk salah seorang rasul yang disebut Ulul ‘Azmi dan salah
satu dari lima nabi yang diharapkan syafaatnya pada hari kiamat. Nabi
Nuh AS juga merupakan rasul Allah SWT yang pertama diutus kepada umat
manusia dan beliau bapak kedua manusia sesudah Nabi Adam AS. Semoga
Allah SWT melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan kepada para
nabi seluruhnya.
Dari kisah Nabi Nuh AS dapat kita ambil beberapa faedah, antara lain:
Pertama,
seluruh dakwah nabi dan rasul sejak Nuh AS sampai Muhammad n adalah
satu, yaitu menyeru umat manusia untuk bertauhid yang murni dan melarang
mereka dari berbuat syirik. Nabi Nuh AS dan yang lainnya selalu
mendahulukan dakwah mereka dengan menyerukan:
“Beribadahlah kalian hanya kepada Allah. Tidak ada sesembahan bagi kalian selain Dia.” (al-A’raf: 59)
Mereka senantiasa mengulang-ulang seruan yang utama ini dengan berbagai cara.
Kedua,
dalam kisah ini terdapat adab berdakwah dan hal-hal yang
menyempurnakannya. Kita lihat dalam kisah ini, Nabi Nuh AS berdakwah
mengajak umatnya siang malam, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan,
dalam setiap kesempatan dan keadaan yang memungkinkan berhasilnya
dakwah. Beliau membangkitkan keinginan mereka dalam meraih pahala di
dunia dengan keselamatan dari siksa, bersenang-senang dengan harta dan
anak-anak, serta limpahan rezeki seandainya mereka beriman, begitu juga
dengan pahala di akhirat. Beliau mengingatkan umatnya agar menjauhi
syirik dengan bersabar dalam menyampaikan dakwah ini dengan kesabaran
yang demikian hebat seperti juga rasul-rasul lainnya. Beliau ajak
kaumnya berbicara dengan kalimat-kalimat yang lembut dan penuh kasih
sayang, dengan segala ungkapan yang dapat menyentuh hati serta beliau
paparkan berbagai bukti tanda kekuasaan Allah SWT.
Ketiga,
sesungguhnya syubhat-syubhat (kerancuan) yang dilontarkan oleh
musuh-musuh para rasul terhadap risalah yang mereka bawa, justru
merupakan dalil yang sangat jelas tentang batilnya ucapan-ucapan para
pendusta itu sendiri. Karena sesungguhnya apa yang mereka katakan tidak
ada yang lain lagi kecuali itu, sama sekali tidak memiliki nilai
keilmiahan dan tidak ada artinya bagi orang yang berakal. Maka perkataan
mereka seperti yang dikisahkan oleh Allah SWT:
“Kami tidak
melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang
hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat
kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin
bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Perhatikanlah
kalimat-kalimat tersebut, niscaya akan Anda dapatkan tamwih
(pengaburan) yang menunjukkan bahwa mereka itu sesat dan sombong
terhadap hakikat kenyataan yang ada. Juga ucapan mereka:
“Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27)
Apakah
dalam suatu kebenaran yang dibawa oleh seseorang terdapat suatu
kerancuan atau syubhat yang menunjukkan bahwa kebenaran itu pada
hakikatnya bukanlah kebenaran? Pernyataan dalam ayat di atas seakan-akan
menerangkan kepada kita bahwa segala pendapat atau pemikiran yang
bersumber atau berasal dari manusia mana pun adalah batil. Tentu saja
hal ini merupakan penolakan terhadap semua ilmu tentang kemanusiaan yang
diperoleh dari manusia yang lain. Ringkasnya, pernyataan orang-orang
kafir ini membatalkan seluruh ilmu yang ada. Bukankah ilmu yang berada
di tengah-tengah manusia, mereka ambil dari manusia yang lainnya dan
semuanya bertingkat-tingkat? Tentunya yang paling tinggi, paling benar,
dan paling bermanfaat dari ilmu-ilmu itu adalah ilmu yang mereka peroleh
dari para rasul yang ilmunya dari wahyu Ilahi.
Demikian pula ucapan orang-orang yang kafir ini:
“Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Yakni,
kami dan kalian adalah sama-sama manusia. Ini pun sudah dibantah oleh
para rasul, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah SWT:
“Kami
tidak lain adalah manusia seperti kamu akan tetapi Allah memberi
karunia kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11)
Dalam
ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia memberikan karunia kepada
para rasul dan mengistimewakan mereka dengan wahyu dan risalah. Padahal,
pengingkaran orang-orang kafir terhadap para rasul itu dari sisi ini,
justru merupakan kebodohan dan celaan paling besar terhadap nikmat Allah
SWT. Karena sesungguhnya nikmat Allah SWT dan hikmah-Nya mengharuskan
bahwa para rasul itu berasal dari kalangan manusia agar lebih
memantapkan manusia dalam mengambil ilmu dari mereka.
Sehingga
mereka pun akan merasakan nikmat ini dengan mudah dan Allah SWT
lapangkan pula bagi mereka jalan untuk mencapainya. Orang-orang yang
dusta ini mengingkari asal kenikmatan ini, bahkan mengingkari pula jalan
yang lurus yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul tersebut.
Adapun perkataan mereka:
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami.” (Hud: 27)
Setiap
orang yang berakal pasti mengetahui bahwa kebenaran itu dikenal dari
materinya sendiri bahwa dia adalah haq, bukan dikenal dari siapa yang
mengikutinya. Perkataan yang mereka ucapkan ini sesungguhnya bersumber
dari kesombongan mereka. Sudah jelas bahwa sikap sombong merupakan
penghalang terbesar yang ada dalam diri seorang hamba untuk mengenal
kebenaran apalagi mengikutinya. Juga ucapan mereka (orang-orang yang
hina-dina di antara kami). Kalau yang mereka inginkan dengan kalimat ini
adalah kemiskinan maka kemiskinan bukanlah suatu aib (cela). Adapun
kalau mereka maksudkan adalah akhlak maka ini jelas dusta. Bahkan
sesungguhnya yang hina-dina adalah mereka yang mengucapkan kalimat ini.
Apakah beriman dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tunduk mengikuti
kebenaran, serta selamat dari perilaku atau watak yang tercela dan
rendah, adalah suatu kehinaan serta orang-orang yang mengikutinya adalah
orang yang hina-dina? Ataukah kehinaan itu berada pada keadaan
sebaliknya, dengan meninggalkan kewajiban yang paling tinggi dan utama,
yaitu mentauhidkan Allah SWT dan bersyukur hanya kepada-Nya, serta
sebaliknya memenuhi hati dengan sikap sombong terhadap kebenaran dan
terhadap sesama manusia?
Hal yang terakhir ini, demi
Allah, justru merupakan kehinaan yang paling hina. Akan tetapi
orang-orang kafir itu datang membawa kebohongan. Tidaklah mereka
menyiksa orang-orang yang baik ini melainkan karena mereka beriman
kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.
Perkataan mereka:
“Yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Maksudnya
yang percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh. Mereka tidak
bermusyawarah dan meneliti lebih dahulu, tidak merenungkan lebih dahulu.
Seandainya mungkin bahwa ini adalah suatu hakikat (kenyataan), maka ini
semua merupakan bukti-bukti dari kebenaran tersebut. Karena
sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat burhan (petunjuk), cahaya,
keagungan, kecemerlangan, kejujuran, dan ketenangan, yang semua itu
tidak perlu dimusyawarahkan dengan siapa pun untuk mengikutinya.
Tentunya
persoalan yang membutuhkan musyawarah itu adalah persoalan-persoalan
yang masih tersamar yang belum diketahui hakikat atau manfaatnya.
Sedangkan keimanan yang cahayanya justru lebih terang dari sinar
matahari, bahkan lebih lezat dari apa pun juga, tidak ada yang
ketinggalan untuk menerimanya melainkan orang-orang yang sombong dan
sewenang-wenang seperti mereka yang durhaka ini.
Kata-kata mereka:
“Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Apakah
dalam perkataan ini terdapat sikap yang jujur dan adil? Karena
sesungguhnya mereka di sini menerangkan keadaaan mereka sendiri. Memang
ucapan ini ada kemungkinan demikian, yakni itulah yang ada dalam hati
mereka (anggapan bahwa merekalah yang paling mulia), atau mereka hanya
mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini. Apa pun alasannya, yang haq
itu tetap wajib untuk diterima, baik yang mengatakannya orang yang
mulia atau bukan. Al-haq itu tetap lebih tinggi di atas apa pun.
Perkataan mereka:
“Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Padahal
sudah sama diketahui bahwa prasangka (zhan) adalah perkataan yang
paling berat dustanya. Seandainya mereka mengatakan ‘Bahkan kami tahu
bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’, maka semua orang yang sesat
mampu mengucapkannya. Akan tetapi dengan dasar apa kalian menuduh para
rasul itu dusta? Maka alasan dan bukti yang mereka kemukakan ini justru
saling menggugurkan satu sama lain sebagaimana yang terlihat. Bagaimana
mungkin, padahal para rasul itu juga telah menghadapinya dengan dalil
(alasan-alasan), bukti yang bermacam-macam sehingga tidak menyisakan
sedikit pun keraguan pada diri seseorang bahwa tuduhan tersebut adalah
batil.
Keempat, antara keutamaan para nabi dan
bukti-bukti risalah serta keikhlasan mereka yang sempurna tampak saat
beribadah kepada Allah SWT secara khusus (untuk diri mereka sendiri) dan
peribadatan mereka dalam memberikan manfaat bagi sesama makhluk,
seperti berdakwah, taklim (mengajarkan ilmu), dan semua perangkatnya.
Oleh karena itulah, mereka menampakkan dan berulang-ulang memperdengarkan hal ini kepada kaumnya. Masing-masing mereka menyatakan:
“Wahai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku tidak lain hanya dari Allah.” (Hud: 29)
Hal
ini menjadi kedudukan yang paling mulia bagi pengikut para rasul, yang
mereka menyertai para rasul itu dalam segi ini. Allah SWT jadikan untuk
mereka kemuliaan di dunia dan akhirat lebih besar daripada hal-hal yang
menjadi persaingan mereka yang mengharapkan dunia.
Kelima,
celaan terhadap niat orang-orang mukmin dan apa yang Allah SWT
anugerahkan kepada mereka berupa keutamaan, bahkan mereka berani
bersumpah atas nama Allah SWT, bahwasanya Dia tidak akan memberi
karunia-Nya kepada orang-orang yang beriman. Semua itu tidak lain
merupakan warisan dari musuh-musuh para rasul. Oleh karena itulah, Nabi
Nuh AS berkata kepada mereka tatkala mereka bersumpah demikian,
menjadikannya jalan untuk mencela kaum mukminin:
“Dan aku juga
tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh kalian,
‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan mereka.’ Allah SWT
lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka.” (Hud: 31)
Keenam,
sepantasnya untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT dan menyebut
nama-Nya ketika datangnya malapetaka dan kesulitan bahkan dalam segala
aktivitas, serta memperbanyak pujian dengan menyebut nama Allah SWT
ketika mendapatkan kenikmatan. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’.” (Hud: 41)
“Maka
apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas
bahtera itu, ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’.” (al-Mu’minun: 28)
Sudah
sepantasnya pula untuk berdoa, memohon berkah ketika singgah di suatu
tempat persinggahan seperti dalam perjalanan atau tiba di tempat tinggal
sendiri, rumah atau kampung halaman, karena adanya firman Allah SWT:
“Dan berdoalah, ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (al-Mu’minun: 29)
Dalam
ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa senantiasa berzikir menyebut nama
Allah SWT, kekuatan untuk beraktivitas ataupun diam, kepercayaan yang
penuh kepada Allah SWT, turunnya berkah dari Allah SWT, semua itu adalah
pengiring yang lebih utama bagi seorang hamba dalam setiap keadaannya
yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja olehnya.
Ketujuh,
bahwasanya takwa kepada Allah SWT dan melaksanakan segala yang dituntut
oleh iman, merupakan sebagian sebab untuk memperoleh dunia, keturunan
yang banyak, rezeki dan kekuatan fisik, meskipun untuk itu semua mesti
ada sebab yang lain. Ketakwaan ini justru merupakan sebab satu-satunya,
tidak ada sebab yang lain untuk mendapatkan kebaikan akhirat dan
keselamatan dari siksanya.
Kedelapan,
keselamatan dari hukuman dunia secara umum hanyalah untuk orang-orang
yang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka. Karena hukuman
dunia ini hanya khusus akan dialami oleh orang-orang yang durhaka dan
yang mengikuti mereka dari anak cucu mereka, juga hewan-hewan meskipun
mereka tidak mempunyai dosa. Karena sesungguhnya bencana yang Allah SWT
timpakan kepada berbagai golongan orang yang dusta itu meliputi
anak-anak dan ternak-ternak yang ada.
Adapun yang disebutkan dalam
sebagian kisah Israiliyat (kisah-kisah Bani Israil, Yahudi, dan
Nasrani) bahwa kaum Nabi Nuh ataupun yang lain, ketika Allah SWT ingin
menghancurkan mereka, Allah SWT jadikan rahim-rahim wanita mereka
mandul, sehingga hukuman tersebut tidak ikut menimpa anak-anak mereka
merupakan kisah yang tidak ada dasarnya sama sekali. Tentu saja ini
bertentangan dengan perkara yang sudah diketahui dan diperkuat pula oleh
firman Allah SWT:
“Dan jagalah diri kalian dari fitnah (siksaan)
yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kalian.” (al-Anfal: 25)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NAROTO LINK 2
ANIMASI BLOG
BUKU TAMU ASLI
Get this widget!
PETIR
NEW VISITOR BLOGER
COSOR NEW
CATEGORI BLOGER
CUSOR NAME
VISOTOR
TWITER BLOG
FOLOW APLIKASI
TOP COMEN BLOGER
KONTAK ADMIN
STATISTIK BLOG
STATISIK TOMAT BLOGER
DAFTAR ISI BLOGER
COLOR LINK BLOGER
- See more at: http://blog.ahmadrifai.net/2012/07/cara-membuat-link-warna-warni-rainbowlink.html#sthash.Ay0OWP5e.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar