Hijrah ke Habsyah
Rasulullah
kembali menganjurkan hijrah ke Habsyah (Abisinia/Ethiopia) setelah
orang-orang Quraisy kian meningkatkan intimidasi. Pada awal tahun
ketujuh kenabian, delapan puluh tiga laki-laki, sebelas perempuan
Quraisy, dan tujuh perempuan non-Quraisy pun berangkat di bawah pimpinan
Ja‘far ibn Abu Thalib. Seperti pada hijrah pertama, kaum muslim
disambut dengan baik oleh Raja Najasy. Dua tahun sebelumnya, tepatnya
pada Rajab tahun kelima kenabian, beberapa sahabat, di antaranya Utsman
ibn Affan, telah hijrah ke sana. Pada saat itu, Rasulullah pernah
mengatakan, “Pergilah ke Habsyah. Rajanya tak pernah berbuat zalim.
Tinggallah di sana agar kalian bebas dari penderitaan seperti yang
kalian alami di sini.”
Orang-orang Quraisy murka. Mereka
kembali kecolongan. Mereka berkumpul, mencari cara agar kaum muslim bisa
dipulangkan ke Makkah. Akhirnya disepakati, orang-orang Quraisy akan
berunding dengan Raja Najasy dengan mengutus Abdullah ibn Abi Rabiah dan
Amr ibn al-Ash. Kepada Najasyi dan para pembesar istana mereka
mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud agar mereka sudi
mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Makkah itu.
"Paduka
Raja," kata mereka, "Penduduk Makkah yang datang ke negeri paduka ini
adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama
bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka. Mereka membawa agama
yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga
paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin mereka, oleh
orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya
paduka sudi mengembalikan orang-orang itu."
Sebenarnya
kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar
istana, setelah menerima hadiah-hadiah dari penduduk Makkah, mereka akan
membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy.
Pembicaraan mereka ini tidak diketahui raja.
Tetapi
baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak
Muslimin. Lalu dimintanya mereka datang menghadap. "Agama apa ini
yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan
sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama
lain?" tanya Najasyi setelah mereka datang.
Yang diajak
bicara ketika itu ialah Ja'far bin Abi Thalib. "Paduka Raja," katanya,
"Ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala,
bangkai pun kami makan. Segala kejahatan kami lakukan, memutuskan
hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang
kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus
seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal usulnya,
dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula."
Ja'far
melanjutkan, "Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha
Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu
kami sembah. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku
jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik,
serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya.
Ia melarang kami memakan harta anak yatim atau mencemarkan
wanita-wanita yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan-Nya. Selanjutnya kami disuruh melakukan shalat, membayar
zakat dan berpuasa."
"Karena itulah, tambah Ja'far,
"Masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa dan menghasut supaya
meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, kembali
membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena
mereka memaksa, menganiaya, menekan dan menghalang-halangi kami dari
agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah
yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan,
dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan."
"Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi.
"Ya," jawab Ja'far, lalu membacakan Surah Maryam dari ayat pertama sampai pada firman Allah: "...maka
Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: 'Bagaimana kami akan
berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?' Berkata Isa,
'Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan
Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan menjadikan aku seorang yang
diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup dan berbakti
kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi
celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku
dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali!" (QS Maryam: 29-33).
Setelah mendengar
bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil,
pemuka-pemuka istana terkejut. "Kata-kata yang keluar dari sumber yang
mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus," kata mereka.
Najasyi
lalu berkata (kepada kedua orang utusan Quraisy), "Kata-kata ini dan
yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan
pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!"
Keesokan
harinya Amr bin Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan bahwa
kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak
Maryam.
"Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu!" perintah Najasyi.
Setelah
mereka datang, Ja'far berkata, "Tentang dia, pendapat kami seperti yang
dikatakan Nabi kami. Dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, ruh-Nya dan
firman-Nya yang disampaikan kepada perawan Maryam."
Najasyi
lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di lantai. Dan
dengan gembira berkata, "Antara agama tuan-tuan dan agama kami
sebenarnya tidak lebih dari garis ini."
Setelah mendengar
keterangan dari kedua belah pihak, nyatalah bagi Najasyi, bahwa kaum
Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama
di Habsyah kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian
disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah
berangsur reda, mereka lalu kembali ke Makkah untuk pertama kalinya.
Sementara Rasulullah pun masih di Makkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar