Membentuk Masyarakat Madani
Piagam
Madinah merupakan dokumen politik yang telah diletakkan Rasulullah yang
menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat,
tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan.
Ia telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban
dunia masa itu. Dunia yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata.
Dalam
penandatanganan dokumen ini, orang-orang Yahudi Bani Quraizah, Bani
Nadzir dan Bani Qainuqa' tidak ikut serta. Namun tidak kemudian, mereka
pun mengadakan perjanjian yang dengan Nabi. Demikianlah, seluruh kota
Yatsrib dan sekitarnya benar-benar jadi terhormat bagi seluruh penduduk.
Mereka berkewajiban mempertahankan kota ini dan mengusir setiap
serangan yang datang dari luar. Mereka harus bekerja sama untuk
menghormati segala hak dan kebebasan yang telah disetujui bersama dalam
dokumen ini.
Rasulullah sudah merasa cukup lega dengan hasil
demikian ini. Kaum Muslimin pun merasa tenteram menjalankan kewajiban
agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri. Mereka tidak
lagi khawatir dengan adanya gangguan atau fitnah. Ketika itulah
Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah binti Abu Bakar.
Dalam
suasana yang sudah mulai tenteram, dan kaum Muslimin dapat menjalankan
perintah-perintah agama, kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan
hukumnya. Di Yatsrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Ia pun
kemudian disebut dengan Madinah, atau kota sang Nabi.
Dalam
khutbah pertama yang diucapkannya di Madinah, Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka sekalipun
hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itu pun tidak ada,
maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan akan
mendapat balasan sepuluh kali lipat."
Dan dalam khutbahnya yang
kedua beliau berpesan, "Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah dan
janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Benar-benar takutlah kamu
kepada-Nya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu
katakan... Hendaklah kamu sekalian saling cinta-mencintai. Allah sangat
murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri."
Bukan hanya
kata-katanya saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan
demikian itu, melainkan juga perbuatan serta teladan yang diberikannya
adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna.
Beliau adalah utusan Allah, namun beliau tidak mau menampakkan sebagai
penguasa atau raja. Kepada sahabat-sahabatnya, Nabi SAW kerap berpesan,
"Jangan memujaku seperti orang-orang Nasrani memuja anak Maryam. Aku
adalah hamba Allah. Sebut saja hamba Allah dan Rasul-Nya!"
Rasulullah
adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali dalam kehidupan ini,
suatu kekuatan yang membuatnya sudah tak peduli lagi akan memberikan
segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada
orang yang mengatakan, dalam memberi, Muhammad sudah tidak takut
kekurangan. Beliau sangat keras dalam menahan diri terhadap hidup yang
serba materi. Begitu jauhnya menahan diri sehingga lapak tempat dia
tidurnya hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak
pernah kenyang. Beliau pernah makan roti dari tepung sya'ir dua hari
berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur. Pada hari-hari
lain, beliau makan kurma. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar.
Perutnya kerap diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga
pencernaannya itu.
Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian
sama seperti dalam makanan. Sungguhpun begitu, dalam hal menahan diri
dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri.
Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Allah SWT berfirman: "Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu." (QS Al-Baqarah: 57).
"Dan
tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah
kepadamu, tapi juga jangan kau lupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan
berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik
kepadamu." (QS Al-Qashash: 77).
Dan dalam hadits beliau
bersabda, "Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup
selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan
mati besok."
Rasulullah SAW ingin memberikan teladan yang tinggi
kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup, suatu
kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat
diperbudak oleh kekayaan, harta-benda, maupun kekuasaan selain Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar