Penggalian Sumur Zam-Zam
Tugas
menyediakan bahan makanan dan air minum bagi jamaah haji merupakan hal
yang sangat sulit pada waktu itu. Untuk mengatasi kesulitan air
tersebut, Abdul Muthalib berencana untuk menggali kembali sumur
(zam-zam) yang telah lama tertimbun. Ini adalah pekerjaan sulit dan
banyak memerlukan tenaga. Pada waktu itu Abdul Muthalib baru mempunyai seorang anak saja, Harith. Sedangkan untuk minta bantuan orang lain sukar diharapkan.
Untuk
melaksanakan rencana tersebut Abdul Muthalib berdoa agar diberi anak
yang banyak. Bahkan ia bernadzar akan menyembelih salah seorang anaknya
untuk kurban bila doanya dikabulkan. Beberapa tahun kemudian lahirlah
anak-anaknya, di antaranya adalah Abu Thalib, Abbas, Abu Lahab, Zubair,
dan Abdullah. Penggalian sumur pun dapat dilaksanakan oleh Abdul
Muthalib dengan bantuan putra-putranya.
Setelah penggalian
sumur selesai, Abdul Muthalib berniat melaksanakan nadzarnya, yaitu
menyembelih salah seorang putranya sebagai kurban. Dengan disaksikan
banyak orang, Abdul Muthalib membawa anak-anaknya ke dekat Ka’bah, lalu
diundi siapa yang akan dijadikan kurban. Dari undian itu ditentukan
bahwa Abdullah yang akan di-kurban-kan.
Abdul Muthalib
kemudian membawa Abdullah ke tempat penyembelihan di dekat sumur
zam-zam, dan bersiap-siap untuk menyembelih Abdullah. Masyarakat
menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankan agar menghubungi
perempuan ahli nujum di Yatsrib. Di hadapan wanita ini dilakukan undian
lagi, yang akhirnya Abdullah tidak jadi disembelih. Sebagai gantinya
disembelih 100 ekor unta. Peristiwa ini menjadikan nama Abdul Muthalib
dan Abdullah terkenal di seluruh tanah Arab. Tidak lama kemudian
Abdullah menikah dengan Aminah dan tinggal di Mekkah.
Kelahiran Sang Calon Nabi
Ketika
itu, Aminah sedang hamil, dan kemudian, seperti wanita lain ia pun
melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib
di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki.
Alangkah
gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat
kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata
pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu,
diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad.
Nama
ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang
menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'ad (Banu
Sa'ad), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang
dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di
Makkah.
Kebiasaan Menyusukan Anak pada Orang Lain
Pada
hari ketujuh kelahirannya itu Abdul Muthalib meminta disembelihkan
unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat
Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama
Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama
nenek moyang. "Kuinginkan dia akan menjadi orang yang terpuji, bagi
Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.
Aminah
masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang
Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi
kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Makkah.
Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Makkah. Pada
hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itu pun dikirimkan ke
pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan
atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang
terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.
Sementara
masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan
anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama
beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian
disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Akhirnya
datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan itu ke
Makkah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan
tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih
mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah.
Sedang dari anak-anak
yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu, di
antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka
akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat
mereka harapkan.
Akan tetapi Halimah binti Abi Dzua'ib yang pada
mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak
mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang
seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak
menghiraukannya.
Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah.
Halimah berkata kepada Harits bin Abdul Uzza suaminya, "Tidak senang aku
pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah
aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga."
"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita."
Halimah
kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama
dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak
diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya
gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua
yang ada padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar