Muhammad dan Keluarga Sa'ad
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan. Dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikhawatirkan adanya serangan wabah Makkah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah.
Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Habsyah (Abisinia/Ethiopia) memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian, "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."
Meninggalnya Sang Ibunda
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya, tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.
Sesudah lima tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Anak Yatim Piatu
Muhammad oleh Ummu Aiman dibawa pulang ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan. Dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikhawatirkan adanya serangan wabah Makkah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah.
Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Habsyah (Abisinia/Ethiopia) memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian, "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."
Meninggalnya Sang Ibunda
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya, tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.
Sesudah lima tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Anak Yatim Piatu
Muhammad oleh Ummu Aiman dibawa pulang ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar