Diasuh Abu Thalib
Pengasuhan
Muhammad dipegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua
di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harits, tapi dia
tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali
dengan hartanya. Oleh karena itu, ia hanya memegang urusan siqaya
(pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan).
Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan
paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula
mengherankan kalau Abdul Muthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian
kepadanya.
Abu Thalib
mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul Muthalib juga. Karena
kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya
sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan
baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Pertemuan dengan Rahib Bahira
Pernah
pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan—ketika itu
usia Muhammad baru duabelas tahun—mengingat sulitnya perjalanan
menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa
Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan
menemani pamannya itu. Hal inilah yang menghilangkan sikap ragu-ragu
dalam hati Abu Thalib.
Anak itu lalu turut serta dalam
rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam.
Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam
perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira.
Bahira
adalah seorang rahib / pendeta yang banyak mengetahui Injil dan ahli
tentang masalah-maslah kenasranian Kemudian Bahira melihat Muhammad.
Lalu ia mulai mengamati Nabi dan mengajak berbicara. Kemudian Bahira
menoleh kepada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya, “Apa status anak ini
di sisimu?“ Abu Thalib menjawab, “Anakku ( Abu Thalib memanggil Nabi
saw dengan panggilan anak karena kecintaannya yang mendalam).“ Bahira
bertanya kepadanya , "Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini
masih hidup.“ Abu Thalib berkata ,“ Dia adalah anak saudaraku.“ Bahira
bertanya ,“Apa yang dilakukan ayahnya ?“ Abu Thalib menjawab,“ Dia telah
meninggal ketika ibu anak ini mengandungnya.“ Bahira berkata, “Anda
benar, bawalah dia pulang ke negerinya, dan jagalah dia dari orang-orang
Yahudi. Jika mereka melihatnya di sini, pasti akan dijahatinya.
Sesungguhnya anak saudaramu ini akan memegang perkara besar.“ Kemudian
Abu Thalib cepat-cepat membawanya kembali ke Mekkah.
Tampaknya
Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak
lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan
yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya
yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Muhammad
tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan
yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba
bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang
pergi bersama mereka ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz,
Majanna dan Dzu'l Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan
oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Muhammad dan Khadijah
Suatu
ketika Muhammad mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid
mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah
adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang
yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani)
Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga
Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia
menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa
orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi
ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.
Tatkala
Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan
yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang
ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu
Thalib, "Aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga.
Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak
unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga.
Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah,
setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar
engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku
tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat
orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat
orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah
sang paman kepada keponakannya dengan menceritakan peristiwa itu.
"Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.
Setelah
mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak
Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun
berangkat menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya
tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih
banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan
didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di
Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar