UWAIS AL-QARANI : BERDOA UNTUK UMMAT
Pada
zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya
merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya
kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat
sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al
Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu
untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang
menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat
terkenal di langit.
Beliau bernama Uwais al-Qarani yang
bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa
terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia
dilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam
pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk
membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala
dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih
banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di
sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang
disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para
penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang
dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan
berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan
tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia
merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup
dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah
mendorongnya untuk selalu berdoa kehadapan Allah : “Ya Allah, janganlah
Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan
Engkau menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan
dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya
dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat
luar biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asyik
bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari
berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang
bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian
kepada-Nya.
Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin,
banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai
tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan
penghinaan lainnya.
Pernah seorang fuqoha’ negeri
Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai
pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi
diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir,
nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu,
kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
*****
Uwais
al-Qarani telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan
Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam
mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan
yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah
seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama
ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak
tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk
mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di
Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan
Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat
tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan
bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri
belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat
untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal
yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu
yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan
ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya
patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya
terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga
patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau
SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim
berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu
tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati,
kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari
dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan
perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah
siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.
Akhirnya,
pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan
memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW
di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika
mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan
berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila
telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia
berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang
akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani
ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi
sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih
empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya,
tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas
yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu
dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang
sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.
Tibalah Uwais al-Qarani di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi
SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah
sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais
menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak
berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati
sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak
berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu
kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ?
Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas
pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah
mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan
Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina
‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan
salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar